Total Tayangan Halaman

Senin, 18 Juli 2011

Surau Tepi Air




Orang-orang kampung kami tak henti-henti membangun surau. Tiada pernah lelah mereka menghimpun wakaf, zakat, infaq, sedekah. Menggalang dana untuk mendirikan surau. Setiap musim lebaran, mereka mengetuk hati para perantau yang pulang ke kampung untuk bersenang hati ikut menyumbang. Ada yang memberi derma dalam bentuk bahan bangunan, ada pula yang menyumbang uang tunai. Untuk apa lagi kalau bukan buat pembangunan surau? Padahal, hampir di setiap sudut kampung kami, surau sudah tegak berdiri. Tapi itu belum cukup! Bagi kami, surau bukan saja tempat shalat, wiridan, majelis ta’lim dan belajar mengaji, tapi juga tempat tinggal bagi semua anak laki-laki kampung kami yang sudah akil baligh. Tengoklah! Rumah-rumah yang tampak berdiri kokoh itu memang rata-rata berukuran besar, pekarangannya luas. Tapi, di dalamnya tak bakal ditemukan kamar bagi anak laki-laki. Kalaupun ada kamar, itu pasti diperuntukkan bagi anak perempuan saja. Laki-laki tidak boleh tinggal di rumah. Bila ada yang masih tinggal di rumah, ia akan dicemooh, diolok-olok sebagai banci yang masih menyuruk-nyuruk di bawah ketiak emak.

Sejak usia sekolah dasar, kami, para lelaki, sudah tidur di surau. Tidak ada kamar di sana, hanya ruangan bagian belakang surau yang disekat papan triplek bekas hingga menjadi beberapa bagian. Di situlah kami tidur. Berhimpit-himpitan serupa ikan kalubi dalam wajan penggorengan. Sebelum semuanya tertidur pulas, kerap ada yang berkelahi. Macam-macam sebabnya. Ada kawan yang sengaja menyembunyikan selimut kain sarung kawan yang lain. Ada yang mencaplok tempat tidur kawan lain atau ada yang sengaja kentut persis di mulut kawan lain yang sudah lebih dahulu tertidur. Lebih banyak waktu kami di surau ketimbang di rumah. Kami pulang ke rumah hanya siang hari. Makan, ganti baju, dan sorenya kami balik lagi ke surau. Ada pula yang sama sekali tidak pulang ke rumah. Semua pakaian dan perlengkapan sekolahnya diangkut ke surau. Di sana mereka mengaji, shalat berjamaah dan bila malam mulai pekat, tibalah saatnya mereka belajar silat, (mereka sering berkelahi itu kadang-kadang dalam rangka menghafal jurus-jurus silat). Dari surau pula mereka berangkat ke sekolah. Benar-benar seperti anak-anak yang tidak punya rumah. Ya, hanya surau itulah rumah mereka. Itu sebabnya surau-surau di kampung kami tak pernah sepi. Selalu riuh oleh suara anak-anak mengaji. Tidak hanya di bulan puasa, tapi juga di bulan-bulan biasa.

"Kalian belajar dan tinggal di surau, supaya kelak tidak canggung bila merantau!" Begitu ajaran salah satu guru kami.

"Sabarlah! Tak lama lagi akan tiba saatnya kalian harus merantau."

"Anak laki-laki harus merantau. Tiada berguna tinggal di kampung bila kalian belum merantau!"

"Merantau bujang dahulu, di kampung perguna belum…"

Meskipun tidak mau merantau jauh, setidaknya kami tetap saja akan merantau ke rumah orang. Pergi dari rumah, hidup dan tinggal di rumah anak-bini. Salah seorang sahabat kami, Sumanda, misalnya. Sejak dulu, ia tak pernah berniat untuk mengadu nasib di rantau orang. Tekadnya sudah bulat. Kelak bila tulang-tulangnya sudah kuat mengayun cangkul, mengolah sawah, menggarap ladang, laki-laki itu akan tetap di kampung. “Awak ingin jadi petani saja,” katanya. Memang, banyak juga orang kampung kami yang bisa kaya tanpa harus merantau jauh-jauh. Lihat saja sejawat kami, Sumanda! Selain mengolah sawah dan ladang, ia juga memelihara hewan-hewan ternak. Berkat ketekunan dan kerja keras, saat masih bujangan saja, Sumanda sudah sanggup menyekolahkan adik-adiknya di kota, hingga semuanya sudah lulus jadi sarjana. Itu semua dibiayai Sumanda dari hasil sawah, ladang dan hewan-hewan ternak yang terus menerus berkembang biak.

Kini, Sumanda bukan laki-laki lajang lagi. Sama seperti kami yang hidup di rantau, Sumanda juga sudah beranak pinak di rumah istrinya. Dua perempuan, satu laki-laki. Tahun lalu, Sumanda telah menikahkan Fatiya, puteri sulungnya. Tak terasa waktu berjalan. Sudah punya menantu kawan lama kami itu rupanya. Sudah pula punya cucu. Tapi, kami tidak pernah lupa pada kenangan masa kecil saat belajar mengaji dan tinggal bersama-sama di surau. Sumanda memang anak yang rajin. Pulang sekolah ia menyabit rumput untuk kerbau-kerbau peliharaan bapaknya. Bila musim menuai tiba, Sumanda ikut pula membantu. Tapi sesibuk apapun, ia tak pernah meninggalkan pelajaran mengaji. Tetap datang ke surau. Mungkin karena itu, ia menjadi anak kesayangan guru mengaji kami. Kumandang suara adzannya terdengar merdu sekali. Mendayu-dayu. Merinding bulu kuduk kami dibuatnya.

Kami masih beroleh kabar tentang Sumanda meski kami jarang pulang. Hidupnya sudah tenang. Sebelum dipersunting orang, Fatiya dan Maimuna sudah dibuatkannya rumah batu. Anwar, anak laki-lakinya juga sudah bekerja sebagai teknisi komputer di sebuah jawatan di ibukota kabupaten. Selesai sudah tanggungjawab Sumanda sebagai orangtua, sebagai bapak, sebagai suami. Kini, ia tidak ke sawah dan ke ladang lagi. Sumanda mulai tekun beribadah. Ia kembali ke surau, tempat kami mengaji dulu. Lebih banyak waktunya di surau daripada di rumah. Makin lama makin jarang Sumanda pulang ke rumah istrinya. Sehelai demi sehelai diangkutnya pakaian ke surau, hingga akhirnya Sumanda benar-benar menetap di surau. Bila waktu shalat tiba, berkumandanglah suara mendayu-dayunya itu. Sehari-hari kesibukannya merawat surau. Menggelar dan menggulung tikar, menyapu, juga membersihkan tempat berwudlu.

Meski tidak punya penghasilan seperti dulu, Sumanda bisa makan dari persediaan beras surau hasil sedekah dan infaq para jamaah. Selain ingin menghabiskan usia yang tersisa, keputusan Sumanda kembali surau juga disebabkan oleh makin kurangnya perhatian istri dan anak-anaknya. Tidak ada lagi yang menanyakan keadaannya kini. Padahal, di usia renta seperti itu, Sumanda kerap sakit-sakitan. Batuknya menjadi-jadi. Suatu malam, saking parahnya batuk yang diderita Sumanda, gumpalan darah kental sebesar buah rimbang keluar dari mulutnya. Rupanya Sumanda tidak ingin menyusahkan istri dan anak-anaknya. Lagi pula, istri Sumanda jarang di rumah, karena ia sering berkunjung ke rumah dua anak perempuannya itu. Menjenguk cucu, katanya. Sumanda benar-benar merasa kesepian, merasa sendiri, merasa tidak dilayani lagi, merasa tercampak begitu saja. Apalagi, nampaknya istri Sumanda memang lebih tenang jika suaminya itu tinggal di surau.

***

Zulfikar, salah seorang kawan masa kecil kami juga, baru pulang dari kampung. Setiap lebaran, ia selalu pulang kampung. Maklumlah, Zulfikar orang berada. Saudagar kaya, begitu kami menyebutnya. Sekali sebulan pun (bila mau) ia bisa saja pulang mudik. Dari Zulfikar, kami mendengar banyak cerita tentang keadaan kampung. Perihal satu dua sahabat masa kecil kami yang sudah lebih dahulu dipanggil Tuhan, tentang jalan kampung yang mulai kinclong sejak diaspal, tentang suasana musabaqah tilawatil qur'an setiap ramadhan yang selalu semarak, tentang shalat hari raya di lapangan hijau yang penuh sesak oleh para perantau yang pulang dengan muka berseri-seri. Tentu perantau-perantau yang pulang dengan mobil-mobil pribadi mengkilat, bukan perantau yang nasibnya kurang beruntung seperti kami.

Memang banyak yang sudah berubah di kampung kami. Namun, ada satu kebiasaan yang tiada pernah lapuk dimakan waktu. Ya, kebiasaan orang-orang kampung kami mengumpulkan infaq, waqaf, zakat dan sedekah guna membangun surau. Betapa tidak? Bagi kami, membangun surau sama artinya dengan membangun rumah. Rumah bagi anak-anak laki-laki kampung kami yang mulai beranjak besar. Bila tidak ada surau, tentu mereka tidak akan punya tempat bernaung. Sekali kali kami katakan, rumah hanya untuk anak-anak perempuan. Beruntung sekali menjadi perempuan di kampung kami.

"Bantulah pembangunan surau baru yang sedang terbengkalai!" Begitu pesan yang dibawa Zulfikar untuk kami.

"Orang-orang kampung kita sangat membutuhkan surau itu."

"Surau sudah seperti cendawan musim hujan, masih belum cukup rupanya?" Tanya kami pada Zulfikar

"Surau-surau yang ada sudah penuh. Penghuninya membludak. Banyak yang tidak kebagian tempat!"

"Jangan mengada-ada kau! Seberapa banyak anak-anak yang belajar mengaji? Hingga tak tertampung lagi di surau-surau itu?"

"Bukan, bukan! Yang tinggal di surau bukan anak-anak mengaji seperti kita dulu. Surau penuh oleh duda-duda tua yang dicampakkan anak-bini. Duda-duda gaek yang tak berguna. Jumlah mereka makin banyak. Ini mendesak. Jadi, bantulah!"

"Akan telantar hidup mereka, bila pembangunan surau baru itu tidak lekas selesai."

"Lagi pula, bila kalian sudah pulang kelak, bukankah di surau itu juga kalian akan menghabiskan hari tua?"

"Atau kalian mau mati di rantau?"

Seketika itu juga kami langsung teringat Sumanda. Jangan-jangan sahabat karib kami itu salah satu duda tua yang sudah tak berguna di rumah istrinya, lalu terbuang ke surau. Kecil di surau, setelah bau tanah, kembali ke surau. Menunggu mati di surau. Mengingat-ingat peruntungan Sumanda yang kurang mujur, rasanya kami seperti sedang menatap bayangan kesuraman akhir hayat kami.

"Sumanda bagaimana kabarnya? Dia sehat-sehat saja?" Tanya kami lagi pada Zulfikar.

"O iya, Sumanda salah satu penghuni surau yang perlu disantuni."

"Santuni? Dia kan punya istri dan anak-anak?"

"Iya, tapi ia lebih suka tinggal di surau tua tempat kita mengaji dulu. Sudah lapuk, diindingnya hampir rubuh, atapnya tiris. Kasihan Sumanda, apalagi dia sedang sakit-sakitan begitu."

"Nanti kalau surau baru sudah selesai, Sumanda kita pindahkan ke sana saja."

"Tunggu apa lagi? Ayo, bantulah!"

Tanpa pikir panjang lagi, bergegas kami merogoh kantong masing-masing. Mengeluarkan infaq dan sedekah sesuai dengan kemampuan sendiri-sendiri. Setelah terkumpul dalam jumlah yang lumayan memadai, lalu kami serahkan pada Zulfikar yang katanya dalam waktu dekat ini akan pulang kampung lagi. Ada urusan bisnis, katanya. Kami menyumbang untuk pembangunan surau baru itu, bukan semata-mata karena kami kasihan pada Sumanda yang bernasib malang. Entah kenapa, rasanya kami sedang membangun rumah untuk tempat bernaung kami di hari tua. Kelak, bila kami sudah pulang dari rantau. Walau kami tidak pernah tahu, apakah kami akan mati di rantau, atau mungkin, mati di surau…

Kelapa Dua, 2006

(teks dikutip dari cerpen berjudul "Sumanda" dalam antologi cerpen JURU MASAK (2009)

Selasa, 21 Juni 2011

campur sari show

Group Campur Sari,
Boyolali, 2011


personil


trio



beraksi dengan mikropon


prepare to show

Senin, 20 Juni 2011

Sang Guru dan Secangkir Kopi

Diskusi dan Peluncuran Buku "Sang Guru dan Secangkir Kopi" (Sejarahwan Onghokham dan Sebuah Dunia Baru Bernama Indonesia) karya Andi Achdian.
Pembicara: Asvi Warman Adam, Arya W Yudhistira
Kediaman Seniman Patung Dolorosa Sinaga, Jakarta
Minggu, 19 Juni 2011







Rabu, 15 Juni 2011

Mengenai Saya

Foto saya
Depok, Jawa Barat, Indonesia
saya tukang foto, bapak saya petani, ibu saya tukang jahit...

Pengikut